Rabu, 22 Mei 2013
Posted by Unknown
Ketidakbecusan Pengelolaan Anggaran Jemaah Haji
Pemprov Banten memberangkatkan 200 orang untuk Umroh, ritual agama bersifat sunah dengan menghabiskan Rp 5,2 miliar tahun 2012. Apakah ini bentuk penghamburan uang rakyat atau cermin ketidakbecusan aparat dalam mengelola anggaran. Luar biasa !!!
Belum jelas benar di pos anggaran manakah Pemprov Banten mengalokasikan dana itu. Semula kita menduga di pos bantuan sosial (Bansos), tetapi Kepala DPKAD Banten, Zainal Mutaqien membantahnya. Kata dia, anggaran itu di Biro Kesra. Tidak disebutkan, apakah ditaruh di dana hibah atau pos lainnya.
Pos bantuan sosial maupun hibah memang memiliki ketentuan yang bersifat multi tafsir, tidak memiliki kriteria yang jelas, apa saja yang boleh dianggarkan dalam bansos maupun hibah. Kriterianya hanya hibah diberikan secara sepesifik telah ditetapkan peruntukannya, bersifat tidak mengikat, sesuai dengan kemampuan daerah. Khusus Bansos tidak perlu spesifik ditentukan peruntukannya.
Multi tafsir itu terlihat sejak PP No 58 tahun 2008 tentang pengelolaan keuangan daerah, Permendagri No 59 tahun 2007, Peraturan Menteri Dalam Negeri No 32 tahun 2008 tentang pedoman penyusunan anggaran tahun 2009 hingga Permendagri No 22 tahun 2011 tentang pendoman penyusunan anggaran tahun 2012.
Lalu dalam peraturan itu tercantum kalimat yang sangat meninabobokan alias orang dipaksa memiliki kesan tentang pemerintahan atau pegawai negeri sipil yang bersih. Kalimat itu adalah “mempertimbangkan rasionalitas dan kriteria yang jelas dengan memperhatikan asas manfaat, keadilan, kepatutan, transparan, akuntabilitas dan kepentingan masyarakat luas”.
Dalam konteks pengalokasian anggaran umroh Rp 5,2 miliar, mari kita kritisi dengan kalimat yang multif tafsir itu. Rasionalitas siapakah sehingga perlu dianggarkan Rp 5,2 miliar untuk umroh? Pastinya rasionalitas pejabat alias PNS kan? Asas manfaat, tentu sangat manfaat bagi 200 penerima umroh tapi tidak manfaat bagi 9 juta lebih warga Banten.
Azas keadilan, tentu adil bagi penerima umroh yang berjumlah 200 orang, tetapi tidak bagi ratusan anak SD yang terpaksa belajar di gedung yang nyaris ambruk atau belajar di balai desa. Atau tidak adil bagi penerima bantuan langsung bernilai Rp 150.000 per bulan selama 9 bulan. Sedangkan penerima umroh Rp 26 juta per orang.
Azas kapatutan. Mungkin patut bagi 200 penerima umroh karena merasa sudah “berjasa” kepada Banten. Tetapi tidak patut bagi ratusan ribu orang miskin di Banten yang terus meningkat, gedung sekolah yang banyak ambruk dan lainnya.
Transparan. Azas ini hanya berlaku bagi kalangan pejabat atau PNS yang mengetahui alokasi umroh tersebut. Tetapi tidak transparan bagi 9 juta lebih warga Banten. Persoalan umroh ini mencuat karena terus ditanya-tanya oleh wartawan yang memesalahkan ketidakberesan pengurusan passport untuk umroh, bukan mempertanyakan pengalokasian anggaran itu sendiri.
Azas akuntablitas. Bagi PNS atau pejabat, azas ini adalah bagaimana terpenuhi unsur-unsur dalam pertangungjawaban keuangan, yaitu ada tiket umroh, atau biaya penginapan, ada biaya dan segala urusan yang berkaitan dengan keberangkatan 200 orang berumroh. Tetapi akuntabilitas bagi warga Banten tentu berbeda. Bagaimana para pejabat atau PNS itu menghitung dan mengalokasikan uang rakyat untuk kepentingan 200 orang yang outputnya hanya dirasakan per orangan? Lalu, bisakah menjadi jaminan bahwsa ke-200 orang yang umrohnya dibiayai dari pajak dan retribusi yang dipungut dari warga Banten itu menjadi lebih beriman, bertaqwa dan menjadi penyebar agama Islam? Jawabannya: Tak ada jaminan.
Azas kepentingan masyarakat luas. Rupanya pejaba atau PNS di Provinsi Banten menilai 200 penerima umroh merupakan kepentingan masyarakat luas, tetapi 9 juta warga Banten bukanlah kepentingan masyarakat luas. Jika kita tanya, apa hasil dari umroh bagi masyarakat luas?Jawabannya tidak ada. Karena umroh adalah kegiatan yang bersifat pribadi antara pemeluk agama Islam dengna Allah SWT. Dan, sifatnya sunah, sekali lagi sifatnya sunah, bukan wajib.
Apakah Gubernur Banten, Rt Atut Chosiyah SE tahu hal ini? Kita meyakini – secara hukum-- jawabannya tahu, karena untuk mengeluarkan uang dan menentukan dana hibah atau bansos diperlukan SK Gubernur atau peraturan gubernur tentang hal tersebut. Kedua jenis keputusan itu harus ditandatangani oleh Gubernur Banten, tidak boleh diwakilkan pada yang lain.
Pada akhirnya semua kembali kepada nurani Gubernur Banten, apakah kegiatan model ini akan dihentikan agar tidak “menyakiti” rakyat Banten, atau memang Gubernur Banten juga punya keyakinan bahwa kegiatan mengumrohkan 200 orang merupakan kegiatan untuk kepentingan masyarakat luas. (im)
Belum jelas benar di pos anggaran manakah Pemprov Banten mengalokasikan dana itu. Semula kita menduga di pos bantuan sosial (Bansos), tetapi Kepala DPKAD Banten, Zainal Mutaqien membantahnya. Kata dia, anggaran itu di Biro Kesra. Tidak disebutkan, apakah ditaruh di dana hibah atau pos lainnya.
Pos bantuan sosial maupun hibah memang memiliki ketentuan yang bersifat multi tafsir, tidak memiliki kriteria yang jelas, apa saja yang boleh dianggarkan dalam bansos maupun hibah. Kriterianya hanya hibah diberikan secara sepesifik telah ditetapkan peruntukannya, bersifat tidak mengikat, sesuai dengan kemampuan daerah. Khusus Bansos tidak perlu spesifik ditentukan peruntukannya.
Multi tafsir itu terlihat sejak PP No 58 tahun 2008 tentang pengelolaan keuangan daerah, Permendagri No 59 tahun 2007, Peraturan Menteri Dalam Negeri No 32 tahun 2008 tentang pedoman penyusunan anggaran tahun 2009 hingga Permendagri No 22 tahun 2011 tentang pendoman penyusunan anggaran tahun 2012.
Lalu dalam peraturan itu tercantum kalimat yang sangat meninabobokan alias orang dipaksa memiliki kesan tentang pemerintahan atau pegawai negeri sipil yang bersih. Kalimat itu adalah “mempertimbangkan rasionalitas dan kriteria yang jelas dengan memperhatikan asas manfaat, keadilan, kepatutan, transparan, akuntabilitas dan kepentingan masyarakat luas”.
Dalam konteks pengalokasian anggaran umroh Rp 5,2 miliar, mari kita kritisi dengan kalimat yang multif tafsir itu. Rasionalitas siapakah sehingga perlu dianggarkan Rp 5,2 miliar untuk umroh? Pastinya rasionalitas pejabat alias PNS kan? Asas manfaat, tentu sangat manfaat bagi 200 penerima umroh tapi tidak manfaat bagi 9 juta lebih warga Banten.
Azas keadilan, tentu adil bagi penerima umroh yang berjumlah 200 orang, tetapi tidak bagi ratusan anak SD yang terpaksa belajar di gedung yang nyaris ambruk atau belajar di balai desa. Atau tidak adil bagi penerima bantuan langsung bernilai Rp 150.000 per bulan selama 9 bulan. Sedangkan penerima umroh Rp 26 juta per orang.
Azas kapatutan. Mungkin patut bagi 200 penerima umroh karena merasa sudah “berjasa” kepada Banten. Tetapi tidak patut bagi ratusan ribu orang miskin di Banten yang terus meningkat, gedung sekolah yang banyak ambruk dan lainnya.
Transparan. Azas ini hanya berlaku bagi kalangan pejabat atau PNS yang mengetahui alokasi umroh tersebut. Tetapi tidak transparan bagi 9 juta lebih warga Banten. Persoalan umroh ini mencuat karena terus ditanya-tanya oleh wartawan yang memesalahkan ketidakberesan pengurusan passport untuk umroh, bukan mempertanyakan pengalokasian anggaran itu sendiri.
Azas akuntablitas. Bagi PNS atau pejabat, azas ini adalah bagaimana terpenuhi unsur-unsur dalam pertangungjawaban keuangan, yaitu ada tiket umroh, atau biaya penginapan, ada biaya dan segala urusan yang berkaitan dengan keberangkatan 200 orang berumroh. Tetapi akuntabilitas bagi warga Banten tentu berbeda. Bagaimana para pejabat atau PNS itu menghitung dan mengalokasikan uang rakyat untuk kepentingan 200 orang yang outputnya hanya dirasakan per orangan? Lalu, bisakah menjadi jaminan bahwsa ke-200 orang yang umrohnya dibiayai dari pajak dan retribusi yang dipungut dari warga Banten itu menjadi lebih beriman, bertaqwa dan menjadi penyebar agama Islam? Jawabannya: Tak ada jaminan.
Azas kepentingan masyarakat luas. Rupanya pejaba atau PNS di Provinsi Banten menilai 200 penerima umroh merupakan kepentingan masyarakat luas, tetapi 9 juta warga Banten bukanlah kepentingan masyarakat luas. Jika kita tanya, apa hasil dari umroh bagi masyarakat luas?Jawabannya tidak ada. Karena umroh adalah kegiatan yang bersifat pribadi antara pemeluk agama Islam dengna Allah SWT. Dan, sifatnya sunah, sekali lagi sifatnya sunah, bukan wajib.
Apakah Gubernur Banten, Rt Atut Chosiyah SE tahu hal ini? Kita meyakini – secara hukum-- jawabannya tahu, karena untuk mengeluarkan uang dan menentukan dana hibah atau bansos diperlukan SK Gubernur atau peraturan gubernur tentang hal tersebut. Kedua jenis keputusan itu harus ditandatangani oleh Gubernur Banten, tidak boleh diwakilkan pada yang lain.
Pada akhirnya semua kembali kepada nurani Gubernur Banten, apakah kegiatan model ini akan dihentikan agar tidak “menyakiti” rakyat Banten, atau memang Gubernur Banten juga punya keyakinan bahwa kegiatan mengumrohkan 200 orang merupakan kegiatan untuk kepentingan masyarakat luas. (im)