Senin, 20 Mei 2013
Posted by Unknown
Budaya Literasi Bagi Semua
Andai mau jujur, budaya literasi telah dimulai pada ribuan tahun yang lalu. Di mulai pada zaman Mesir Kuno, Babilonia, Dinasti China, Yunani Kuno, dan gaung revolusinya ideologi dari Jazirah Arabia. Yakni, saat Rosulullah memperoleh ajaran religiositas pertama dari Allah SWT, untuk “membaca.” Hampir satu abad kemudian diperkuat dengan revolusi literasi teknologi dengan hadirnya mesin cetak Guitenberg
Dalam pemahaman ideologis ini seorang teman dengan sangat indah mendeskripsikan hasil renungannya. Entah sudah berapa ratus kali saya membaca ayat pertama yang diturunkan Tuhan kepada Rosul yang amat disayang-Nya. Dan entah sudah berapa kali terhenyak dan merenung. Zaman di saat orang masih berkonsentrasi bagaimana cara mencari makan. Zaman saat bukit batu masih tampil sebagaimana adanya. Zaman ketika terik matahari masih terasa seperti membakar kulit dengan sedikitnya naungan. Zaman pada saat setiap kabilah mempertahankan diri dan keluarga dengan darah. Tiba-tiba ada ajaran yang mengajak untuk “membaca”. Ini berarti sebuah lompatan budaya yang luar biasa.
Tentu keterhenyakan ini tidak hanya sampai di situ. Perintah membaca tentu bukan sekadar perintah “pemanis bibir”. Maka, jika seseorang disuruh membaca berarti tentu harus ada “bahan yang akan dibaca.” Bahan yang akan dibaca tidak mungkin terwujud, jika tidak ada yang “menulis.” Nah, dengan demikian seruan penciptaan budaya membaca yang difirmankan Tuhan, akan selalu berdampingan dengan penciptaan seruan budaya menulis. Keduanya merupakan oposisi binner, perlawanan yang saling melengkapi. Oleh karena Alquran diturunkan sebagai petunjuk bagi manusia (tanpa pandang bulu) maka seruan untuk memiliki budaya literasi pun ditujukan bagi semua.
Berabad kemudian seruan ini terbukti dengan beragam penemuan, yang bermula dari budaya literasi ini. Hidup manusia makin “terenakkan”. Bahkan terlenakan dengan segala fasilitas yang didapat.
Pada tataran ideologis pun akhirnya budaya literasi ini sedikit demi sedikit terkikis dari para umat-awam. Umat kembali berposisi sebagai konsumen dari beragam hasil budaya literasi yang dicipta orang lain, dari para pemimpinnya, dari para ilmuwan. Maka, jadilah budaya literasi ini diklaim seakan hanya menjadi wilayah kerja para pemimpin dan ilmuwan tersebut. Umat-awam pun kembali jumud (malas berpikir) dan taqlid (menjadi pengekor). Nilai-nilai kritis seperti yang ditunjukkan pada zaman Rosulullah dan para sahabat mulai sirna.
Sebenarnya hegemoni para pemimpin dan ilmuwan memiliki niatan mulia: agar umat tidak secara sewenang-wenang menafsirkan budaya literasi yang ada dalam kandungan Alquran. Dalam penafsirannya yang akan diterapkan dalam kehidupan sehari-hari membutuhkan perangkat yang amat banyak: ilmu bahasa Arab, tajwid, ilmu kalam, ilmu alam, bahkan ilmu sosial yang amat, luas dan lainnya. Yang semua itu tentu tidak dimiliki para umat-awam. Persoalannya, apakah juga semua ilmu itu, dimiliki oleh seseorang dari para pemimpin dan ilmuwan di masa sekarang ini?
Dari namanya saja, Alquran itu dipahami sebagai bahan bacaan. Maka, fungsinya untuk dibaca. Dalam hal ini metode Qiro’ati dan Iqro’ telah mampu menerobos ketidakberdayaan umat-awam dalam mencoba mempelajari Alquran. Dalam konteks pembudayaan literasi seperti di atas, maka siapa pun kita dan dengan latar belakang apa pun, kita patut mendukung pengembangannya.
Dari situ diharapkan akan memunculkan pemahaman (walau amat terbatas), juga diharapkan mampu mengimplementasikannya (sejauh yang dipahami).
Lebih jauh menghasilkan tulisan pemikiran alternatif yang mungkin juga berguna bagi sesama umat-awam. Andai kemudian langkah ini ditengarai mengalami reduksi atau penyimpangan, maka para pemimpin dan ilmuwan itulah yang kemudian memberi pencerahannya dengan bijak dan baik.
Tentu ini akan jauh lebih bermakna dan bermanfaat daripada tradisi yang mengkultuskan Alquran sebagai ajimat. Dia dibungkus pakai kain putih, diberi wewangian dan disimpan di tempat khusus. Dia tak pernah disentuh, apalagi dibuka. Kondisi ini, seribu lima ratus tahun lalu, pernah diingatkan, “Jika Alquran ditulis dengan tinta emas, ditaruh pada lemari yang terbuat dari emas, dan disimpan pada gedung yang terbuat dari emas, namun tidak pernah dipelajari, maka tidak akan berguna sama sekali.”
Semoga kita terhindar dari yang demikian.
Dedi Pramono
Dosen Universitas Ahmad Dahlan
Dalam pemahaman ideologis ini seorang teman dengan sangat indah mendeskripsikan hasil renungannya. Entah sudah berapa ratus kali saya membaca ayat pertama yang diturunkan Tuhan kepada Rosul yang amat disayang-Nya. Dan entah sudah berapa kali terhenyak dan merenung. Zaman di saat orang masih berkonsentrasi bagaimana cara mencari makan. Zaman saat bukit batu masih tampil sebagaimana adanya. Zaman ketika terik matahari masih terasa seperti membakar kulit dengan sedikitnya naungan. Zaman pada saat setiap kabilah mempertahankan diri dan keluarga dengan darah. Tiba-tiba ada ajaran yang mengajak untuk “membaca”. Ini berarti sebuah lompatan budaya yang luar biasa.
Tentu keterhenyakan ini tidak hanya sampai di situ. Perintah membaca tentu bukan sekadar perintah “pemanis bibir”. Maka, jika seseorang disuruh membaca berarti tentu harus ada “bahan yang akan dibaca.” Bahan yang akan dibaca tidak mungkin terwujud, jika tidak ada yang “menulis.” Nah, dengan demikian seruan penciptaan budaya membaca yang difirmankan Tuhan, akan selalu berdampingan dengan penciptaan seruan budaya menulis. Keduanya merupakan oposisi binner, perlawanan yang saling melengkapi. Oleh karena Alquran diturunkan sebagai petunjuk bagi manusia (tanpa pandang bulu) maka seruan untuk memiliki budaya literasi pun ditujukan bagi semua.
Berabad kemudian seruan ini terbukti dengan beragam penemuan, yang bermula dari budaya literasi ini. Hidup manusia makin “terenakkan”. Bahkan terlenakan dengan segala fasilitas yang didapat.
Pada tataran ideologis pun akhirnya budaya literasi ini sedikit demi sedikit terkikis dari para umat-awam. Umat kembali berposisi sebagai konsumen dari beragam hasil budaya literasi yang dicipta orang lain, dari para pemimpinnya, dari para ilmuwan. Maka, jadilah budaya literasi ini diklaim seakan hanya menjadi wilayah kerja para pemimpin dan ilmuwan tersebut. Umat-awam pun kembali jumud (malas berpikir) dan taqlid (menjadi pengekor). Nilai-nilai kritis seperti yang ditunjukkan pada zaman Rosulullah dan para sahabat mulai sirna.
Sebenarnya hegemoni para pemimpin dan ilmuwan memiliki niatan mulia: agar umat tidak secara sewenang-wenang menafsirkan budaya literasi yang ada dalam kandungan Alquran. Dalam penafsirannya yang akan diterapkan dalam kehidupan sehari-hari membutuhkan perangkat yang amat banyak: ilmu bahasa Arab, tajwid, ilmu kalam, ilmu alam, bahkan ilmu sosial yang amat, luas dan lainnya. Yang semua itu tentu tidak dimiliki para umat-awam. Persoalannya, apakah juga semua ilmu itu, dimiliki oleh seseorang dari para pemimpin dan ilmuwan di masa sekarang ini?
Dari namanya saja, Alquran itu dipahami sebagai bahan bacaan. Maka, fungsinya untuk dibaca. Dalam hal ini metode Qiro’ati dan Iqro’ telah mampu menerobos ketidakberdayaan umat-awam dalam mencoba mempelajari Alquran. Dalam konteks pembudayaan literasi seperti di atas, maka siapa pun kita dan dengan latar belakang apa pun, kita patut mendukung pengembangannya.
Dari situ diharapkan akan memunculkan pemahaman (walau amat terbatas), juga diharapkan mampu mengimplementasikannya (sejauh yang dipahami).
Lebih jauh menghasilkan tulisan pemikiran alternatif yang mungkin juga berguna bagi sesama umat-awam. Andai kemudian langkah ini ditengarai mengalami reduksi atau penyimpangan, maka para pemimpin dan ilmuwan itulah yang kemudian memberi pencerahannya dengan bijak dan baik.
Tentu ini akan jauh lebih bermakna dan bermanfaat daripada tradisi yang mengkultuskan Alquran sebagai ajimat. Dia dibungkus pakai kain putih, diberi wewangian dan disimpan di tempat khusus. Dia tak pernah disentuh, apalagi dibuka. Kondisi ini, seribu lima ratus tahun lalu, pernah diingatkan, “Jika Alquran ditulis dengan tinta emas, ditaruh pada lemari yang terbuat dari emas, dan disimpan pada gedung yang terbuat dari emas, namun tidak pernah dipelajari, maka tidak akan berguna sama sekali.”
Semoga kita terhindar dari yang demikian.
Dedi Pramono
Dosen Universitas Ahmad Dahlan